Kemajuan tersebut tidak lepas dari peran masyarakat dan Budaya Baca Masyarakat Jepang yang luar biasa tinggi. Melalui tulisan ini, mari kita tengok budaya baca masyarakat Jepang yang luar biasa tinggi sebagaimana dikutip dari hi-techmall.org (18/12/12).
Jika Anda mendengar kata ‘komik’, tentu
Anda akan mengaitkannya dengan Negara Jepang. Memang Jepang adalah salah
satu Negara yang sukses dalam memproduksi Komik. Kreatifitas menulis
diantara para pengarang komik seakan tidak pernah mati. Bahkan komik
Jepang sudah merambah ke belahan dunia lainnya seperti juga di
Indonesia.
Di Indonesia komik Jepang sering menjadi
perburuan, terutama untuk komik berseri. Dan kita akan bertanya-tanya,
bagaimana bisa ya masyarakat Jepang bisa aktif dalam menulis ? dan untuk
mengetahu jawabanya kita perlu mempelajari lagi bagaimana kebiasaan
orang-orang Jepang dalam kesehariannya.
Budaya Membaca di Kalangan Orang Jepang
Rata-rata
orang Jepang memang gemar membaca, atau paling tidak gemar mencari
informasi -yang tampak remeh sekalipun- dari orang lain. Bahkan banyak
para artis yang mempunyai hobi membaca.
Berdasarkan pengamatan Romi Satria
Wahono yang pernah 10 tahun tinggal di sana menggambarkan bahwa sebagian
besar penumpang densha (kereta listrik), baik anak-anak maupun dewasa
sedang asyik membaca buku atau Koran.
Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak
yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Pun di ceritakan bahwa
banyak penerbit yang mulai membuat manga (komik bergambar) untuk
materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA.
Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dan sebagainya disajikan dengan menarik yang membuat minat baca masyarakat semakin tinggi.
Budaya baca orang Jepang juga didukung
oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa
inggris, perancis, jerman, dsb).
Konon kabarnya legenda penerjemahan
buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684, seiring dibangunnya
institut penerjemahan dan terus berkembang sampai jaman modern. Biasanya
terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam beberapa minggu
sejak buku asingnya diterbitkan.
Tak
heran pemerintah Jepang juga mengambil kebijakan tersendiri guna
meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Jepang dengan menciptakan
kebijakan publik khusus untuk memotivasi masyarakat Jepang kembali ke
sekolah (Kikosushijo) pada tahun 1962.
Keberanian untuk membuat prioritas
kebijakan publik pada sektor pendidikan adalah suatu syarat mutlak atau
tidak bisa tidak (conditio sine qua non).
Kebijakan ini mendorong pemerintah
Jepang dari pusat sampai ke daerah-daerah untuk antara lain menyediakan
secara gratis buku-buku bacaan, membeli lahan untuk pembangunan sekolah
dengan sistem pendidikan bermutu, tak ketinggalan mengirim guru-guru
untuk bersekolah di luar negeri pada berbagai universitas ternama.
Akhirnya Sejarah pun mencatat bahwa
keunggulan manusia Jepang, yang ditandai lejitan ke peringkat-peringkat
atas persaingan global, dicapai melalui kerja keras. Visi Jepang cerah
juga melalui pelembagaan budaya baca.
Budaya ini dibangun lewat kebijakan
penyadaran pentingnya membaca. Ia sengaja direncanakan, ditanamkan,
ditumbuhkan dan dikembangkan secara serius dan berlanjut. Kesadaran
membaca dituntun melalui disiplin tingkat tinggi. Budaya baca memang
menggelora ke seluruh lini kehidupan bermasyarakat Jepang. Ia diterima
dan dipertahankan karena meyakinkan secara logis sebagai obor penerang
masa depan.
Benar-benar mengagumkan bukan?.
Berdasarkan pengamatan Romi Satria Wahono, kini, membaca dan selalu
membaca telah menjadi pemandangan umum. Budaya baca ini terlihat tidak
hanya pada jam-jam belajar. Bukan saja ketika berada di sekolah-sekolah
atau kampus-kampus. Ia merupakan kebudayaan yang hidup dan menghidupkan
ketika sedang berada di bus, kereta api, taman-taman kota, tempat-tempat
rekreasi, tidak terkecuali sambil menunggu pesanan makanan di kafe atau
restoran.
Toko Buku Ala Jepang
Bila
kita ke toko buku, terlihat pada pinggir-pinggir tembok sengaja
disediakan meja dan kursi bagi pembaca, demikian ungkap Romi Satria
Wahono . Bahkan sering terlihat banyak orang lanjut usia sedang asyik
membaca, tak mau kalah, pantang mundur berpandu kaca pembesar huruf.
Hebat pula bahwa pelayan toko buku sama sekali tidak terlihat melarang,
kalau ada siswa atau mahasiswa yang sengaja mengerjakan tugas atau
pekerjaan rumah di sana. Tentu saja ada aturannya, membaca dengan tenang
dan menjaga kebersihan serta keutuhan bahan bacaan.
Menurut data dari bunkanews (situs
khusus tentang media massa berbahasa Jepang), jumlah toko buku di Jepang
adalah sama dengan jumlah toko buku di Amerika Serikat.
Amerika Serikat adalah dua puluh enam
kali lebih luas dan berpenduduk dua kali lebih banyak daripada Jepang.
Karena itu, data ini menunjukkan bahwa toko buku sangat banyak di
Jepang, mudah dijangkau, dan berada sangat dekat dengan masyarakat
Jepang.
Sebuah kelebihan yang membuat bahagia
para konsumen buku dan penerbit tentunya. Juga menunjukkan tingginya
apresiasi masyarakat terhadap budaya membaca.
Toko buku yang ada tak melulu toko buku
baru. Masih menurut bunkanews, toko buku bekas atau toko buku tua
menempati presentase sepertiga jumlah toko buku. Artinya, jumlah toko
buku bekas adalah separuh jumlah toko buku baru.
Keberadaan toko buku bekas ini sangat
menolong konsumen buku, karena mereka bisa mendapatkan buku yang mereka
inginkan dengan harga yang jauh lebih murah dan terjangkau. Bahkan
terkadang, kita bisa mendapatkan buku-buku tua yang sangat bernilai
namun sudah tak lagi diterbitkan.
Toko-toko buku ini berani untuk buka
sampai larut malam, lebih malam dari departemen store maupun
supermarket. Mengapa demikian? Karena kaki para konsumen buku terus
mengalir sampai malam.
Banyak di antara mereka yang datang
hanya untuk sekedar “tachi yomi” (artinya membaca sambil berdiri di toko
buku tanpa membeli) melepas kebosanan di malam hari. Tachiyomi sekilas
tampaknya hanya merusak pemandangan toko. Namun ternyata oplag penjualan
berbanding lurus dengan jumlah orang yang tachiyomi. Artinya, ada
kencenderungan sehabis tachiyomi orang tergerak untuk membeli bacaan
lainnya.
Kecenderungan orang Jepang pada
aktivitas membaca dimanfaatkan oleh para penerbit sebagai ajang promosi
buku-buku mereka di televisi.
Di salah satu televisi swasta ada acara
yang disebut acara “toko buku Sekiguchi”. Dalam acara ini para artis
atau pelawak mempresentasikan referensi suatu buku, sedangkan artis lain
yang hadir diminta untuk membeli berdasarkan kesan mereka terhadap
presentasi tersebut dari kocek mereka sendiri.
Acara ini sangat membantu bagi penggemar
buku yang sibuk dan tak sempat berlama-lama di toko buku. Penonton bisa
melihat referensi yang divisualisasikan dalam layar TV dan memesan
lewat internet atau telpon jika tertarik untuk membeli. Mirip sebuah
“televisi shopping”, namun yang dipromosikan adalah buku.
Ketika kita masuk ke sebuah toko buku, biasanya ada beberapa hal khas yang kita jumpai.
Pertama,
biasanya buku-buku bacaan di Jepang, seperti novel, kumpulan essai,
ataupun ilmiah populer didesain dalam ukuran kecil, ringan, dan mudah
dibawa kemana-mana. Sehingga kita tidak enggan membawa buku tersebut
baik ketika dalam perjalanan ke kantor ataupun berbelanja.Orang yang
membaca buku (tentu juga komik ataupun majalah) akan sangat mudah kita
temui di bis-bis kota ataupun di kereta-kereta listrik.
Kedua, kita
akan susah mendapatkan buku-buku berbahasa Inggris di toko-toko buku
Jepang pada umumnya. Ini karena, para penerbit Jepang sangat
memperhatikan penerjemahan buku-buku hasil karya penulis dari
negara-negara lain.
Bahkan banyak kasus buku best seller
yang diterbitkan di negara lain diterbitkan pula terjemahannya di Jepang
dalam waktu yang hampir berbarengan, seperti buku Harry Potter yang
ngetop di Amerika itu.
Ini tentu saja karunia bagi masyarakat
Jepang khususnya para penggemar buku. Mereka bisa menikmati hasil karya
penulis-penulis beken negara lain dalam bahasa mereka sendiri. Suatu
karunia yang kita pikir hanya dipunyai oleh negara-negara berbahasa
Inggris, seperti Amerika atau sebagian negara Eropa. Hanya toko-toko
besar tertentu (dan biasanya di daerah perkotaan) yang menyediakan
buku-buku impor berbahasa Inggris dan bukan terjemahannya.
Ke Perpustakaan Untuk Membaca
Selain toko buku, perpustakan pun sangat
mudah kita temui di sekitar kita. Di daerah pedesaan, biasanya,
perpustakaan ini dikelola oleh pemerintah daerah setingkat kecamatan di
Indonesia. Keberadaannya mudah dijangkau oleh masyarakat pedesaan. Sebab
itu, meskipun di pedesaan, buku bukanlah barang mahal yang sulit di
dapat.
Pada perpustakaan-perpustakaan, petugas
keamanan terlihat senantiasa berdiri atau berkeliling, walau jarang
tampak pengunjung perpustakaan yang menimbulkan kebisingan. Mereka tidak
akan segan-segan menegur tegas, bila terdengar atau kelihatan ada
pengunjung yang terlalu lama berbisik ria. Iya, walau hanya berbisik,
bukan bersuara keras, tidak diperbolehkan. Perilaku ini dianggap
mengganggu orang lain yang sedang membaca dan menciderai misi
perpustakaan. Semacam ‘delik penodaan’ dalam sakralitas dan martabat
masyarakat baca nan terdidik.
Sifat Dasar Orang Jepang yang Pantang Menyerah
Sifat dasar orang Jepang memang tekun
dan pekerja keras. Selain itu rata-rata dari mereka mempunyai keinginan
untuk selalu belajar dan selalu memperbaiki hasil kerja mereka. Mungkin
sifat-sifat dasar ini menjadi salah satu pendukung kehebatan masyarakat
Jepang dalam membangun negaranya. Keinginan untuk selalu belajar ini
tercermin pada tingginya budaya baca dan tulis masyarakat Jepang.
Jepang bukan bangsa penemu, tapi orang
Jepang mempunyai kelebihan dalam meracik temuan orang dan kemudian
memasarkannya dalam bentuk yang diminati oleh masyarakat
Sejarah membuktikan Jepang termasuk
bangsa yang tahan banting dan pantang menyerah. Puluhan tahun di bawah
kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke luar negeri, Jepang
sangat tertinggal dalam teknologi.
Ketika restorasi Meiji (meiji ishin)
datang, bangsa Jepang cepat beradaptasi dan menjadi fastlearner.
Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Tidak
hanya menjadi pengimpor minyak bumi, batubara, biji besi dan kayu,
bahkan 85 persen sumber energi Jepang berasal dari negara lain termasuk
Indonesia..
Rentetan bencana pun pernah melanda
Jepang seperti yang terjadi di tahun 1945, dimulai dari bom atom di
Hiroshima dan Nagasaki, disusul dengan kalah perangnya Jepang dan
ditambahi dengan adanya gempa bumi besar di Tokyo atupun Tsunami yang
sering menghampiri Jepang. Ternyata Jepang tidak habis bahkan tetap
terus bangkit menjadi salah satu Negara yang maju. Dalam beberapa tahun
berikutnya Jepang sudah berhasil membangun industri otomotif dan bahkan
juga kereta cepat (shinkansen).
Mungkin Anda akan dibuat takjub dengan
kisah bagaimana Matsushita Konosuke yang usahanya hancur dan hampir
tersingkir dari bisnis peralatan elektronik di tahun 1945 masih mampu
merangkak, mulai dari nol untuk membangun industri sehingga menjadi
kerajaan bisnis di era kekinian.
Yang juga cukup unik bahwa ilmu dan
teori dimana orang harus belajar dari kegagalan ini mulai diformulasikan
di Jepang dengan nama shippaigaku (ilmu kegagalan). Jadi semangat
pantang menyerah yang sudah mendarah daging di dalam diri orang Jepang
merupakan inti dari kesuksesan hidup mereka.
Dengan membaca dan mempelajari budaya
masyarakat Jepang sebagaimana di atas, semoga masyarakat Indonesia bisa
belajar dan meniru budaya membaca masyarakat Jepang yang sudah terbukti
terasa manfaatnya untuk kemajuan Negaranya.
0 comments:
Post a Comment
Sebelum anda memberi komentar, silahkan masuk dengan menggunakan akun google atau URL openID anda agar kami dapat lebih mudah membalas komentar anda, terimakasih.