Rabi’ah al-Adawiyah, Sang Sufi Cinta


Tuhanku, tenggelamkan aku dalam samudera cintaMu….

A.   Biografi Rabi’ah Al Adawiyah
Rabi’ah Al Adawiyah memiliki nama asli Rabi’ah Al Adawiyah binti Ismail al Adawiyah al Bashriyah. Ia lahir di kota Basrah tahun 95 H/174 M dan meninggal sekitar tahun 185 H/801 M dan dimakamkan di tempat itu juga.
.
Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah tergolong wanita sufi yang terkenal dalam sejarah Islam. Dia lahir dalam sebuah keluarga yang miskin dari segi kebendaan namun kaya dengan peribadatan kepada Allah. Ayahnya hanya bekerja mengangkut penumpang menyeberangi Sungai Dijlah dengan menggunakan sampan.
.
Pada akhir kurun pertama Hijrah, keadaan hidup masyarakat Islam dalam pemerintahan Bani Umaiyah yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan telah mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai berlumba-lumba mencari kekayaan. Justru itu kejahatan dan maksiat tersebar luas. Pekerjaan menyanyi, menari dan berhibur semakin diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup wara’ serta zuhud hampir lenyap sama sekali.
.
Namun begitu, Allah telah memelihara sebilangan kaum Muslimin agar tidak terjerumus ke dalam fitnah tersebut. Pada masa itulah muncul satu gerakan baru yang dinamakan Tasawuf Islami yang dipimpin oleh Hasan al-Bashri. Pengikutnya terdiri dari para lelaki dan wanita. Mereka menghabiskan masa dan tenaga untuk mendidik jiwa dan rohani mengatasi segala tuntutan hawa nafsu demi mendekatkan diri kepada Allah sebagai hamba yang benar-benar taat.
.
Ayah Rabi’ah merupakan hamba yang sangat bertaqwa, tersingkir daripada kemewahan dunia dan tidak pernah letih bersyukur kepada Allah. Dia mendidik anak perempuannya menjadi muslimah yang berjiwa bersih. Pendidikan yang diberikannya bersumberkan al-Quran semata-mata. Natijahnya Rabi’ah sendiri begitu gemar membaca dan menghayati isi al-Quran sehigga berjaya menghafal kandungan al-Quran. Sejak kecil lagi Rabi’ah sememangnya berjiwa halus, mempunyai keyakinan yang tinggi serta keimanan yang mendalam.
.
Menjelang kedewasaannya, kehidupannya menjadi serba sempit. Keadaan itu semakin buruk setelah beliau ditinggalkan ayah dan ibunya. Rabi’ah juga tidak terkecuali daripada ujian yang bertujuan membuktikan keteguhan iman. Ada riwayat yang mengatakan beliau telah terjebak dalam kancah maksiat. Namun dengan limpah hidayah Allah, dengan asas keimanan yang belum padam di hatinya, dia dipermudahkan oleh Allah untuk kembali bertaubat. Babak-babak taubat inilah yang mungkin dapat menyadar serta mendorong hati kita merasai cara yang sepatutnya seorang hamba bergantung harap kepada belas ihsan Tuhannya.
.
Begitulah keadaan kehidupan Rabi’ah yang ditakdirkan Allah untuk diuji dengan keimanan serta kecintaan kepada-Nya. Rabi’ah meninggal dunia pada 185 H/801 M di Basrah dan dimakamkan di tempat itu juga. Moga-moga Allah meridhoinya, amin!

B.   Konsep Ajaran Rabi’ah al Adawiyah
Rabi’ah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.
.
Sepanjang sejarahnya, konsep Cinta Ilahi (Mahabbatullah) yang diperkenalkan Rabi’ah ini telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan. Sebab, konsep dan ajaran Cinta Rabi’ah memiliki makna dan hakikat yang terdalam dari sekadar Cinta itu sendiri. Bahkan, menurut kaum sufi, Mahabbatullah tak lain adalah sebuah maqam (stasiun, atau jenjang yang harus dilalui oleh para penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridla Allah dalam beribadah) bahkan puncak dari semua maqam. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali misalnya mengatakan, “Setelah Mahabbatullah, tidak ada lagi maqam, kecuali hanya merupakan buah dari padanya serta mengikuti darinya, seperti rindu (syauq), intim (uns), dan kepuasan hati (ridla)”.
.
Rabi’ah telah mencapai puncak dari maqam itu, yakni Mahabbahtullah. Untuk menjelaskan bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Allah, tampaknya agak sulit untuk didefinisikan dengan kata-kata. Dengan kata lain, Cinta Ilahi bukanlah hal yang dapat dielaborasi secara pasti, baik melalui kata-kata maupun simbol-simbol. Para sufi sendiri berbeda-beda pendapat untuk mendefinisikan Cinta Ilahi ini. Sebab, pendefinisian Cinta Ilahi lebih didasarkan kepada perbedaan pengalaman spiritual yang dialami oleh para sufi dalam menempuh perjalanan ruhaninya kepada Sang Khalik. Cinta Rabi’ah adalah Cinta spiritual (Cinta qudus), bukan Cinta al-hubb al-hawa (cinta nafsu) atau Cinta yang lain. Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691-751 H) membagi Cinta menjadi empat bagian:

1. Mencintai Allah.
Dengan mencintai Allah seseorang belum tentu selamat dari azab Allah, atau mendapatkan pahala-Nya, karena orang-orang musyrik, penyembah salib, Yahudi, dan lain-lain juga mencintai Allah.

2. Mencintai apa-apa yang dicintai Allah.
Cinta inilah yang dapat menggolongkan orang yang telah masuk Islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. Manusia yang paling dicintai adalah yang paling kuat dengan cinta ini.

3. Cinta untuk Allah dan kepada Allah.
Cinta ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai Allah.

4. Cinta bersama Allah.
Cinta jenis ini syirik. Setiap orang mencintai sesuatu bersama Allah dan bukan untuk Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah cinta orang-orang musyrik.

Pokok ibadah, menurut Ibnu Qayyim, adalah Cinta kepada Allah, bahkan mengkhususkan hanya Cinta kepada Allah semata. Jadi, hendaklah semua Cinta itu hanya kepada Allah, tidak mencintai yang lain bersamaan mencintai-Nya. Ia mencintai sesuatu itu hanyalah karena Allah dan berada di jalan Allah.
.
Cinta sejati adalah bilamana seluruh dirimu akan kau serahkan untukmu Kekasih (Allah), hingga tidak tersisa sama sekali untukmu (lantaran seluruhnya sudah engkau berikan kepada Allah) dan hendaklah engkau cemburu (ghirah), bila ada orang yang mencintai Kekasihmu melebihi Cintamu kepada-Nya.
.
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.
.
Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata.
.
Rabi’ah seolah-olah tidak mengenali yang lain daripada Allah. Oleh itu dia terus-menerus mencintai Allah semata-mata. Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keridhaan Allah. Rabi’ah telah mempertalikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata. Dia sentiasa meletakkan kain kafannya di hadapannya dan sentiasa membelek-beleknya setiap hari.
.
Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke tahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapan-tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur. Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum terpuaskan, meski hijab penyaksian telah disibakkan. Oleh karena itu, Rabi’ah tak henti-hentinya memohon kepada Kekasihnya itu agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia pun Cinta kepadanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya” (QS. 5: 59).
.

C.     Syair - Syair Rabi’ah Al Adawiyah

  • Tuhanku, tenggelamkan aku dalam samudra cintaMu
    Hingga tak ada sesuatupun yang menggangguku dalam jumpaMu
    Tuhanku, bintang-gemintang berkelap-kelip
    Manusia terlena dalam buai tidur lelap
    Pintu-pintu istana pun telah rapat tertutup
    Tuhanku, demikian malampun berlalu
    Dan inilah siang datang menjelang
    Aku menjadi resah gelisah
    Apakah persembahan malamku Kau Terima
    Hingga aku berhak mereguk bahagia
    Ataukah itu Kau Tolak, hingga aku dihimpit duka,
    Demi kemahakuasaan-Mu
    Inilah yang akan selalu ku lakukan
    Selama Kau Beri aku kehidupan
    Demi kemanusiaan-Mu,
    Andai Kau Usir aku dari pintuMu
    Aku tak akan pergi berlalu
    Karena cintaku padaMu sepenuh kalbu

  • Ya Allah, apa pun yang akan Engkau
    Karuniakan kepadaku di dunia ini,
    Berikanlah kepada musuh-musuhMu
    Dan apa pun yang akan Engkau
    Karuniakan kepadaku di akhirat nanti,
    Berikanlah kepada sahabat-sahabatMu
    Karena Engkau sendiri, cukuplah bagiku

  • Aku mengabdi kepada Tuhan
    Bukan karena takut neraka
    Bukan pula karena mengharap masuk surga
    Tetapi aku mengabdi,
    Karena cintaku padaNya
    Ya Allah, jika aku menyembahMu
    Karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
    Dan jika aku menyembahMu
    Karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
    Tetapi, jika aku menyembahMu
    Demi Engkau semata,
    Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajahMu
    Yang abadi padaku
     
  • Ya Allah
    Semua jerih payahku
    Dan semua hasratku di antara segala
    Kesenangan-kesenangan
    Di dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau
    Dan di akhirat nanti, diantara segala kesenangan
    Adalah untuk berjumpa denganMu
    Begitu halnya dengan diriku
    Seperti yang telah Kau katakana
    Kini, perbuatlah seperti yang Engkau Kehendaki

  • Aku mencintaiMu dengan dua cinta
    Cinta karena diriku dan cinta karena diriMu
    Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingatMu
    Cinta karena diriMu, adalah keadaanMu mengungkapkan tabir
    Hingga Engkau ku lihat
    Baik untuk ini maupun untuk itu
    Pujian bukanlah bagiku
    BagiMu pujian untuk semua itu

  • Buah hatiku, hanya Engkau yang kukasihi
    Beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadiratMu
    Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku
    Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau

  • Hatiku tenteram dan damai jika aku diam sendiri
    Ketika Kekasih bersamaku
    CintaNya padaku tak pernah terbagi
    Dan dengan benda yang fana selalu mengujiku
    Kapan dapat kurenungi keindahanNya
    Dia akan menjadi mihrabku
    Dan rahasiaNya menjadi kiblatku
    Bila aku mati karena cinta, sebelum terpuaskan
    Akan tersiksa dan lukalah aku di dunia ini
    O, penawar jiwaku
    Hatiku adalah santapan yang tersaji bagi mauMu
    Barulah jiwaku pulih jika telah bersatu dengan Mu
    O, sukacita dan nyawaku, semoga kekallah
    Jiwaku, Kaulah sumber hidupku
    Dan dariMu jua birahiku berasal
    Dari semua benda fana di dunia ini
    Dariku telah tercerah
    Hasratku adalah bersatu denganMu
    Melabuhkan rindu

  • Sendiri daku bersama Cintaku
    Waktu rahasia yang lebih lembut dari udara petang
    Lintas dan penglihatan batin
    Melimpahkan karunia atas doaku
    Memahkotaiku, hingga enyahlah yang lain, sirna
    Antara takjub atas keindahan dan keagunganNya
    Dalam semerbak tiada tara
    Aku berdiri dalam asyik-masyuk yang bisu
    Ku saksikan yang datang dan pergi dalam kalbu
    Lihat, dalam wajahNya
    Tercampur segenap pesona dan karunia
    Seluruh keindahan menyatu
    Dalam wajahNya yang sempurna
    Lihat Dia, yang akan berkata
    “Tiada Tuhan selain Dia, dan Dialah Yang maha Mulia.”

  • Rasa riangku, rinduku, lindunganku,
    Teman, penolong dan tujuanku,
    Kaulah karibku, dan rindu padaMu
    Meneguhkan daku
    Apa bukan padaMu aku ini merindu
    O, nyawa dan sahabatku
    Aku remuk di rongga bumi ini
    Telah banyak karunia Kau berikan
    Telah banyak..
    Namun tak ku butuh pahala
    Pemberian ataupun pertolongan
    CintaMu semata meliput
    Rindu dan bahagiaku
    Ia mengalir di mata kalbuku yang dahaga
    Adapun di sisiMu aku telah tiada
    Kau bikin dada kerontang ini meluas hijau
    Kau adalah rasa riangku
    Kau tegak dalam diriku
    Jika aku telah memenuhiMu
    O, rindu hatiku, aku pun bahagia

  • Ya Allah, jika aku menyembah-Mu,
    karena takut pada neraka,
    maka bakarlah aku di dalam neraka.
    Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
    campakkanlah aku dari dalam surga.
    Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau,
    janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,
    yang Abadi kepadaku.
.
D.  Kisah Kezuhudan Rabi’ah al Adawiyah
Sebagaimana yang banyak ditulis dalam biografi Rabi’ah al-Adawiyah, wanita suci ini sama sekali tidak memikirkan dirinya untuk menikah. Sebab, menurut Rabi’ah, jalan tidak menikah merupakan tindakan yang tepat untuk melakukan pencarian Tuhan tanpa harus dibebani oleh urusan-urusan keduniawian. Padahal, tidak sedikit laki-laki yang berupaya untuk mendekati Rabi’ah dan bahkan meminangnya. Di antaranya adalah Abdul Wahid bin Zayd, seorang sufi yang zuhud dan wara. Ia juga seorang teolog dan termasuk salah seorang ulama terkemuka di kota Basrah.
.
Abdul Wahid bin Zayd sempat mencoba meminang Rabi’ah. Tapi lamaran itu ditolaknya dengan mengatakan, “Wahai laki-laki sensual, carilah perempuan sensual lain yang sama dengan mereka. Apakah engkau melihat adanya satu tanda sensual dalam diriku?”
Laki-laki lain yang pernah mengajukan lamaran kepada Rabi’ah adalah Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang Amir Abbasiyah dari Basrah (w. 172 H). Untuk berusaha mendapatkan Rabi’ah sebagai istrinya, laki-laki itu sanggup memberikan mahar perkawinan sebesar 100 ribu dinar dan juga memberitahukan kepada Rabi’ah bahwa ia masih memiliki pendapatan sebanyak 10 ribu dinar tiap bulan. Tetapi dijawab oleh Rabi’ah, ”Aku sungguh tidak merasa senang bahwa engkau akan menjadi budakku dan semua milikmu akan engkau berikan kepadaku, atau engkau akan menarikku dari Allah meskipun hanya untuk beberapa saat.”
.
Dalam kisah lain disebutkan, ada laki-laki sahabat Rabi’ah bernama Hasan al-Bashri yang juga berniat sama untuk menikahi Rabi’ah. Bahkan para sahabat sufi lain di kota itu mendesak Rabi’ah untuk menikah dengan sesama sufi pula. Karena desakan itu, Rabi’ah lalu mengatakan, “Baiklah, aku akan menikah dengan seseorang yang paling pintar di antara kalian.” Mereka mengatakan Hasan al-Bashri lah orangnya.” Rabi’ah kemudian mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Jika engkau dapat menjawab empat pertanyaanku, aku pun akan bersedia menjadi istrimu.” Hasan al-Bashri berkata, “Bertanyalah, dan jika Allah mengizinkanku, aku akan menjawab pertanyaanmu.”
“Pertanyaan pertama,” kata Rabi’ah, “Apakah yang akan dikatakan oleh Hakim dunia ini saat kematianku nanti, akankah aku mati dalam Islam atau murtad?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawab.”
“Pertanyaan kedua, pada waktu aku dalam kubur nanti, di saat Malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.” “Pertanyaan ketiga, pada saat manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar di Hari Perhitungan (Yaumul Hisab) semua nanti akan menerima buku catatan amal di tangan kanan dan di tangan kiri. Bagaimana denganku, akankah aku menerima di tangan kanan atau di tangan kiri?” Hasan kembali menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Tahu. “Pertanyaan terakhir, pada saat Hari Perhitungan nanti, sebagian manusia akan masuk surga dan sebagian lain masuk neraka. Di kelompok manakah aku akan berada?” Hasan lagi-lagi menjawab seperti jawaban semula bahwa hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang tersembunyi itu.
.
Selanjutnya, Rabi’ah mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Aku telah mengajukan empat pertanyaan tentang diriku, bagaiman aku harus bersuami yang kepadanya aku menghabiskan waktuku dengannya?” Dalam penolakannya itu pula, Rabi’ah lalu menyenandungkan sebuah sya’ir yang cukup indah.
.
Damaiku, wahai saudara-saudaraku,
Dalam kesendirianku,
Dan Kekasihku bila selamanya bersamaku,
Karena cintanya itu,
Tak ada duanya,
Dan cintanya itu mengujiku,
Di antara keindahan yang fana ini,
Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
Dia-lah “mihrabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,
Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
Engkau-lah sumber hidupku,
Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
Telah kutinggalkan semua keindahan fana ini dariku,
Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
Karena itulah hidup kutuju.
.
Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu:
.
Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku,
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.
.
Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya. Doanya:

Tuhanku, malam telah berlalu dan
siang segera menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,
hingga aku merasa bahagia,
Ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa bersedih,
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
Selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,
aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi hatiku.

Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah mengatakan:
.
Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu..
 .

1 comments:

Post a Comment

Sebelum anda memberi komentar, silahkan masuk dengan menggunakan akun google atau URL openID anda agar kami dapat lebih mudah membalas komentar anda, terimakasih.