Dua tahun lalu,
George Junus Aditjondro memanaskan perpolitikan nasional lewat karyanya dalam
bentuk sebuah buku fenomenal. Aditjondro begitu ia disapa, menyalurkan hasrat
tulis menulis yang diberi judul Membongkar Gurita Cikeas; Skandal dibalik
Century. Pria yang berjenggot tebal ini mencoba mengungkapkan curahan hatinya
atas makin maraknya praktik korupsi di lingkungan penguasa.
Terlepas dari isi buku tersebut yang menuai
banyak kritikan pedas, gairah tulis menulis di kalangan masyarakat menemukan
irama baru dalam mendemokrasikan karya seseorang. Grafik peningkatan secara
signifikan pun dapat dilihat. Terbukti, pasca buku Aditjondro digulirkan ke
khalayak umum, buku bernalar pembalasan siap diluncurkan. Buku berjudul Hanya
Fitnah & Mencari Sensasi dan Cikeas Menjawab! pun muncul ke permukaan
menjawab karya Aditjondro.
Dari sini dapat sedikit diperoleh pencerahan
terkait pentingnya kemerdekaan berbicara dan berpendapat sesuai amanat UUD
1945. Tidak ada pembredelan pers dan pemberangusan karya seseorang.
Buku harus dibalas dengan buku, bukan dengan
pemberangusan. Tanpa buku pembanding yang cergas dan cerdas, pemahaman
masyarakat melalui jalur buku hanya sepihak. Dalam artian mempertahankan
argumen dari pengetahuan yang diperolehnya dari sebutir buku, (Jawa Pos,
17/01/10).
Dengan demikian, hikmah pendemokrasian buku yang
tertuang lewat ‘debat media’ menjadi kunci terbaik bagi kelangsungan dunia
jurnalistik. Roda pengetahuan sepihak dapat diminimalisir dengan buku-buku tandingan.
Hasilnya, persaingan sehat nan aktif dalam kajian tulis menulis akan semakin
tinggi. Dan secara implisit, roda estafet pengetahuan akan mendongkrak tinggi
dengan sendirinya.
Buku dan Pengetahuan
Berbicara masalah buku, maka tidak lepas dari
sudut pandang subjek dan objeknya. Subjek dalam hal ini adalah seorang penulis
ataupun pengarang akan karya. Seseorang yang sedang menuangkan hasil ijtihad
pikirannya dalam bentuk karya apapun akan menghasilkan sebuah ‘peradaban’.
Entah itu peradaban buku, pers ataupun lainnya. Karena pengetahuan yang
tersalurkan lewat karya akan menjadi pengetahuan yang hidup.
Hal ini akan menjadi mungkin manakala dari sudut
objek atau masyarakat memaknai dan menganalisis apa yang ada didalamnya. Dan
akan mudah terwujud jika segenap elemen masyarakat menyadari akan pentingnya
sebuah buku.
Ukuran pentingnya sebuah pengetahuan tidaklah
dipandang dari segi mewahnya karya seseorang. Meski banyak karya hanya berupa
timbunan kertas yang amburadul, namun esensinya butir-butir elemen pengetahuan
digunakan dalam landasan berfikir. Akan lebih baik jika suatu karya disajikan
dalam bentuk yang ringan dan enak dikonsumsi khalayak ramai.
Buku dan pengetahuan adalah satu kesatuan. Patron
client keduanya mampu menembus urat nadi pengetahuan yang ada. Pengetahuan pada
umumnya dapat diperoleh lewat pengkajian secara serius kepada buku. Sebaliknya,
buku mempunyai inovasi untuk memuat pengetahuan-pengetahuan baru yang masih
tersembunyi. Antara keduanya terjadi ‘kesesuaian organik’ yang mencoba membuka wahana
baru di jagad ilmu pengetahuan.
Seorang pustakawan harus jeli memilah serta
memilih model pengetahuan apa yang ‘klop’ bagi dirinya. Seseorang akan
terpengaruh baik ataupun buruk dari pesona keilmuan dalam sebuah buku.
Alih-alih mengharap ilmu yang mumpuni, seseorang juga dapat terjebak pada
pemahaman literalistic (hanya berpatokan pada buku). Model pemahaman ini akan
sendirinya berinfiltrasi pada congkaknya nalar berfikir. Model ini pula yang
nantinya bertendensi pada pemikiran yang radikal terhadap konteks dimana ia
berada.
Pemahaman literal Vs kontekstual
Telaah seseorang terhadap buku pada akhirnya
mendapatkan semacam cakrawala baru dalam hal pengetahuan. Pembaca secara umum
menghabiskan segenap waktunya untuk membaca suatu karya. Dan pada ujungnya,
pembacaan terhadap buku mengerucut menjadi dua model pengetahuan yang cukup
berseberangan. Ya, Pemahaman literalistic dan pemahaman kontekstual
(berdasarkan kondisi dimana pembaca itu berada).
Diantara dua model pengetahuan tersebut terbersit
efek positif-negatif masing-masing. Pemahaman literal menghadirkan suatu
pencerahan berfikir dan atau sebaliknya ‘mencupetkan’ nalar berfikir karena
terkungkung pada buku. Sedangkan pemahaman kontekstual mendatangkan efek
kausalitas yang saling berkaitan. Atau dalam bahasa jawa, mempunyai efek
rumongso terhadap kondisi sekitar dimana ia berada.
Ketika terjadi suatu permasalahan pada soal agama
misalnya, kita tak harus menggunakan modul pengetahuan yang ada dalam buku.
Bisa jadi teori itu hanya berupaya mengikis suatu problematika pada tataran
kulit, bukan pada inti masalah. Bahasa ‘manis di lidah hampar didalamnya’
mungkin menjadi bagian dari konsekuensi logis pemahaman ini. Lihat misalnya
kasus fatwa reboding, tukang ojek perempuan ataupun fatwa lainnya yang cukup
konservatif untuk ukuran masyarakat Indonesia.
Sedangkan pemahaman non literalistic bertumpu
pada upaya untuk menyelesaikan suatu masalah di lapangan. Pada tataran ini,
pemahaman kontekstual mencoba menguraikan benang permasalahan sesuai setting
sosio-kultur dimana masyarakat itu berada dan mengalami suatu permasalahan.
Pemahaman ini agaknya lebih rumit dibandingkan pemahaman literal. Tetapi,
antara keduanya mempunyai identitas keunggulan masing-masing.
Nah, dari kedua opsi pemahaman di atas juga
mempunyai problematika yang urung terpecahkan. Sehingga dalam hal ini masih
diperlukan kritik serta masukan guna menyumbat lubang kelemahan kedua model
itu. Tentu hal ini dimaksudkan agar kesempurnaan teori menjadi sinkron dengan
konteks sekarang.
Atau mungkin, perpaduan diantara dua model
tersebut menjadi teori baru untuk solusi permasalahan yang kerap kali muncul.
Istilah literal-kontekstual acap kali menjadi hal baru untuk mengetengahi kasus
yang ada di masyarakat.
Pemahaman literal atau konseptual dipadukan
dengan pemahaman kontekstual akan menghasilkan teori baru yang lebih praktis
dan elegan. Sampai pada akhirnya, model ini menjadi solusi konkret apabila
kedua opsi pemahaman di atas menuai jalan buntu. Jangan sampai, kita malah
terbelenggu dalam kubangan literal atau juga konseptual, apalagi berupaya
bersikap ‘taklid buta’.
Akhirnya, kebenaran pengetahuan di dunia ini
hanya bersifat relatif. Bisa lebih baik jika pengetahuan dimaknai dan disuguhi
dengan data ilmiah yang tentunya menuntut tanggung jawab seseorang.
Selamat mendemokrasikan buku!
sumber ||
justisia.com
Ilustrasi Gambar || mugmerah.com
Ilustrasi Gambar || mugmerah.com
0 comments:
Post a Comment
Sebelum anda memberi komentar, silahkan masuk dengan menggunakan akun google atau URL openID anda agar kami dapat lebih mudah membalas komentar anda, terimakasih.