A. Biografi Rabi’ah Al Adawiyah
Rabi’ah Al Adawiyah memiliki nama asli Rabi’ah Al Adawiyah
binti Ismail al Adawiyah al Bashriyah. Ia lahir di kota Basrah tahun 95 H/174 M dan meninggal sekitar
tahun 185 H/801 M dan dimakamkan di tempat itu juga.
.
Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah tergolong wanita sufi yang
terkenal dalam sejarah Islam. Dia lahir dalam sebuah keluarga yang miskin dari
segi kebendaan namun kaya dengan peribadatan kepada Allah. Ayahnya hanya
bekerja mengangkut penumpang menyeberangi Sungai Dijlah dengan menggunakan
sampan.
.
Pada akhir kurun pertama Hijrah, keadaan hidup masyarakat
Islam dalam pemerintahan Bani Umaiyah yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan
telah mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai berlumba-lumba
mencari kekayaan. Justru itu kejahatan dan maksiat tersebar luas. Pekerjaan
menyanyi, menari dan berhibur semakin diagung-agungkan. Maka ketajaman iman
mulai tumpul dan zaman hidup wara’ serta zuhud hampir lenyap sama sekali.
.
Namun begitu, Allah telah memelihara sebilangan kaum Muslimin agar tidak terjerumus ke dalam fitnah tersebut. Pada masa itulah muncul satu gerakan baru yang dinamakan Tasawuf Islami yang dipimpin oleh Hasan al-Bashri. Pengikutnya terdiri dari para lelaki dan wanita. Mereka menghabiskan masa dan tenaga untuk mendidik jiwa dan rohani mengatasi segala tuntutan hawa nafsu demi mendekatkan diri kepada Allah sebagai hamba yang benar-benar taat.
Namun begitu, Allah telah memelihara sebilangan kaum Muslimin agar tidak terjerumus ke dalam fitnah tersebut. Pada masa itulah muncul satu gerakan baru yang dinamakan Tasawuf Islami yang dipimpin oleh Hasan al-Bashri. Pengikutnya terdiri dari para lelaki dan wanita. Mereka menghabiskan masa dan tenaga untuk mendidik jiwa dan rohani mengatasi segala tuntutan hawa nafsu demi mendekatkan diri kepada Allah sebagai hamba yang benar-benar taat.
.
Ayah Rabi’ah merupakan hamba yang sangat bertaqwa,
tersingkir daripada kemewahan dunia dan tidak pernah letih bersyukur kepada
Allah. Dia mendidik anak perempuannya menjadi muslimah yang berjiwa bersih.
Pendidikan yang diberikannya bersumberkan al-Quran semata-mata. Natijahnya
Rabi’ah sendiri begitu gemar membaca dan menghayati isi al-Quran sehigga
berjaya menghafal kandungan al-Quran. Sejak kecil lagi Rabi’ah sememangnya
berjiwa halus, mempunyai keyakinan yang tinggi serta keimanan yang mendalam.
.
Menjelang kedewasaannya, kehidupannya menjadi serba sempit.
Keadaan itu semakin buruk setelah beliau ditinggalkan ayah dan ibunya. Rabi’ah
juga tidak terkecuali daripada ujian yang bertujuan membuktikan keteguhan iman.
Ada riwayat yang mengatakan beliau telah terjebak dalam kancah maksiat. Namun
dengan limpah hidayah Allah, dengan asas keimanan yang belum padam di hatinya,
dia dipermudahkan oleh Allah untuk kembali bertaubat. Babak-babak taubat inilah
yang mungkin dapat menyadar serta mendorong hati kita merasai cara yang
sepatutnya seorang hamba bergantung harap kepada belas ihsan Tuhannya.
.
Begitulah keadaan kehidupan Rabi’ah yang ditakdirkan Allah
untuk diuji dengan keimanan serta kecintaan kepada-Nya. Rabi’ah meninggal dunia
pada 185 H/801 M di Basrah dan dimakamkan di tempat itu juga. Moga-moga Allah
meridhoinya, amin!
B. Konsep Ajaran Rabi’ah al Adawiyah
Rabi’ah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran
Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh
seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain
yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi
penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273 M.
Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya,
terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.
.
Sepanjang sejarahnya, konsep Cinta Ilahi (Mahabbatullah)
yang diperkenalkan Rabi’ah ini telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan.
Sebab, konsep dan ajaran Cinta Rabi’ah memiliki makna dan hakikat yang terdalam
dari sekadar Cinta itu sendiri. Bahkan, menurut kaum sufi, Mahabbatullah tak lain
adalah sebuah maqam (stasiun, atau jenjang yang harus dilalui oleh para
penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridla Allah dalam beribadah) bahkan puncak
dari semua maqam. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali misalnya mengatakan, “Setelah
Mahabbatullah, tidak ada lagi maqam, kecuali hanya merupakan buah dari padanya
serta mengikuti darinya, seperti rindu (syauq), intim (uns), dan kepuasan hati
(ridla)”.
.
Rabi’ah telah mencapai puncak dari maqam itu, yakni
Mahabbahtullah. Untuk menjelaskan bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Allah,
tampaknya agak sulit untuk didefinisikan dengan kata-kata. Dengan kata lain,
Cinta Ilahi bukanlah hal yang dapat dielaborasi secara pasti, baik melalui
kata-kata maupun simbol-simbol. Para sufi sendiri berbeda-beda pendapat untuk
mendefinisikan Cinta Ilahi ini. Sebab, pendefinisian Cinta Ilahi lebih
didasarkan kepada perbedaan pengalaman spiritual yang dialami oleh para sufi
dalam menempuh perjalanan ruhaninya kepada Sang Khalik. Cinta Rabi’ah adalah
Cinta spiritual (Cinta qudus), bukan Cinta al-hubb al-hawa (cinta nafsu) atau
Cinta yang lain. Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691-751 H) membagi Cinta menjadi
empat bagian:
1. Mencintai Allah.
Dengan mencintai Allah seseorang belum tentu selamat dari
azab Allah, atau mendapatkan pahala-Nya, karena orang-orang musyrik, penyembah
salib, Yahudi, dan lain-lain juga mencintai Allah.
2. Mencintai apa-apa yang dicintai Allah.
Cinta inilah yang dapat menggolongkan orang yang telah masuk
Islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. Manusia yang paling dicintai adalah
yang paling kuat dengan cinta ini.
3. Cinta untuk Allah dan kepada Allah.
Cinta ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang
dicintai Allah.
4. Cinta bersama Allah.
Cinta jenis ini syirik. Setiap orang mencintai sesuatu
bersama Allah dan bukan untuk Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan
sesuatu selain Allah. Inilah cinta orang-orang musyrik.
Pokok ibadah, menurut Ibnu Qayyim, adalah Cinta kepada
Allah, bahkan mengkhususkan hanya Cinta kepada Allah semata. Jadi, hendaklah
semua Cinta itu hanya kepada Allah, tidak mencintai yang lain bersamaan
mencintai-Nya. Ia mencintai sesuatu itu hanyalah karena Allah dan berada di
jalan Allah.
.
Cinta sejati adalah bilamana seluruh dirimu akan kau
serahkan untukmu Kekasih (Allah), hingga tidak tersisa sama sekali untukmu
(lantaran seluruhnya sudah engkau berikan kepada Allah) dan hendaklah engkau
cemburu (ghirah), bila ada orang yang mencintai Kekasihmu melebihi Cintamu kepada-Nya.
.
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi
dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta
abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan
tujuan apa pun.
.
Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya
tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf
(takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada
Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga,
maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan
lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta
Allah lebih karena Allah semata.
.
Rabi’ah seolah-olah tidak mengenali yang lain daripada Allah.
Oleh itu dia terus-menerus mencintai Allah semata-mata. Dia tidak mempunyai
tujuan lain kecuali untuk mencapai keridhaan Allah. Rabi’ah telah mempertalikan
akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata. Dia sentiasa
meletakkan kain kafannya di hadapannya dan sentiasa membelek-beleknya setiap
hari.
.
Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah
sampai kepada maqam mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke
tahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapan-tahapan lain,
antara lain tobat, sabar dan syukur. Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring
dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta
Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum terpuaskan, meski hijab penyaksian
telah disibakkan. Oleh karena itu, Rabi’ah tak henti-hentinya memohon kepada
Kekasihnya itu agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia pun Cinta kepadanya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Dia mencintai mereka dan mereka
mencintai-Nya” (QS. 5: 59).
.
C. Syair - Syair Rabi’ah Al Adawiyah
- Tuhanku, tenggelamkan aku dalam samudra cintaMu
Hingga tak ada sesuatupun yang menggangguku dalam jumpaMu
Tuhanku, bintang-gemintang berkelap-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu-pintu istana pun telah rapat tertutup
Tuhanku, demikian malampun berlalu
Dan inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah
Apakah persembahan malamku Kau Terima
Hingga aku berhak mereguk bahagia
Ataukah itu Kau Tolak, hingga aku dihimpit duka,
Demi kemahakuasaan-Mu
Inilah yang akan selalu ku lakukan
Selama Kau Beri aku kehidupan
Demi kemanusiaan-Mu,
Andai Kau Usir aku dari pintuMu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku padaMu sepenuh kalbu
- Ya Allah, apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di dunia ini,
Berikanlah kepada musuh-musuhMu
Dan apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di akhirat nanti,
Berikanlah kepada sahabat-sahabatMu
Karena Engkau sendiri, cukuplah bagiku
- Aku mengabdi kepada Tuhan
Bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi,
Karena cintaku padaNya
Ya Allah, jika aku menyembahMu
Karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembahMu
Karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembahMu
Demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajahMu
Yang abadi padaku
- Ya Allah
Semua jerih payahku
Dan semua hasratku di antara segala
Kesenangan-kesenangan
Di dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau
Dan di akhirat nanti, diantara segala kesenangan
Adalah untuk berjumpa denganMu
Begitu halnya dengan diriku
Seperti yang telah Kau katakana
Kini, perbuatlah seperti yang Engkau Kehendaki
- Aku mencintaiMu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diriMu
Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingatMu
Cinta karena diriMu, adalah keadaanMu mengungkapkan tabir
Hingga Engkau ku lihat
Baik untuk ini maupun untuk itu
Pujian bukanlah bagiku
BagiMu pujian untuk semua itu
- Buah hatiku, hanya Engkau yang kukasihi
Beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadiratMu
Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku
Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau
- Hatiku tenteram dan damai jika aku diam sendiri
Ketika Kekasih bersamaku
CintaNya padaku tak pernah terbagi
Dan dengan benda yang fana selalu mengujiku
Kapan dapat kurenungi keindahanNya
Dia akan menjadi mihrabku
Dan rahasiaNya menjadi kiblatku
Bila aku mati karena cinta, sebelum terpuaskan
Akan tersiksa dan lukalah aku di dunia ini
O, penawar jiwaku
Hatiku adalah santapan yang tersaji bagi mauMu
Barulah jiwaku pulih jika telah bersatu dengan Mu
O, sukacita dan nyawaku, semoga kekallah
Jiwaku, Kaulah sumber hidupku
Dan dariMu jua birahiku berasal
Dari semua benda fana di dunia ini
Dariku telah tercerah
Hasratku adalah bersatu denganMu
Melabuhkan rindu
- Sendiri daku bersama Cintaku
Waktu rahasia yang lebih lembut dari udara petang
Lintas dan penglihatan batin
Melimpahkan karunia atas doaku
Memahkotaiku, hingga enyahlah yang lain, sirna
Antara takjub atas keindahan dan keagunganNya
Dalam semerbak tiada tara
Aku berdiri dalam asyik-masyuk yang bisu
Ku saksikan yang datang dan pergi dalam kalbu
Lihat, dalam wajahNya
Tercampur segenap pesona dan karunia
Seluruh keindahan menyatu
Dalam wajahNya yang sempurna
Lihat Dia, yang akan berkata
“Tiada Tuhan selain Dia, dan Dialah Yang maha Mulia.”
- Rasa riangku, rinduku, lindunganku,
Teman, penolong dan tujuanku,
Kaulah karibku, dan rindu padaMu
Meneguhkan daku
Apa bukan padaMu aku ini merindu
O, nyawa dan sahabatku
Aku remuk di rongga bumi ini
Telah banyak karunia Kau berikan
Telah banyak..
Namun tak ku butuh pahala
Pemberian ataupun pertolongan
CintaMu semata meliput
Rindu dan bahagiaku
Ia mengalir di mata kalbuku yang dahaga
Adapun di sisiMu aku telah tiada
Kau bikin dada kerontang ini meluas hijau
Kau adalah rasa riangku
Kau tegak dalam diriku
Jika aku telah memenuhiMu
O, rindu hatiku, aku pun bahagia
- Ya Allah, jika aku menyembah-Mu,
karena takut pada neraka,
maka bakarlah aku di dalam neraka.
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
campakkanlah aku dari dalam surga.
Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,
yang Abadi kepadaku.
.
D. Kisah Kezuhudan Rabi’ah al Adawiyah
Sebagaimana yang banyak ditulis dalam biografi Rabi’ah
al-Adawiyah, wanita suci ini sama sekali tidak memikirkan dirinya untuk
menikah. Sebab, menurut Rabi’ah, jalan tidak menikah merupakan tindakan yang
tepat untuk melakukan pencarian Tuhan tanpa harus dibebani oleh urusan-urusan
keduniawian. Padahal, tidak sedikit laki-laki yang berupaya untuk mendekati
Rabi’ah dan bahkan meminangnya. Di antaranya adalah Abdul Wahid bin Zayd,
seorang sufi yang zuhud dan wara. Ia juga seorang teolog dan termasuk salah seorang
ulama terkemuka di kota Basrah.
.
Abdul Wahid bin Zayd sempat mencoba meminang Rabi’ah. Tapi
lamaran itu ditolaknya dengan mengatakan, “Wahai laki-laki sensual, carilah
perempuan sensual lain yang sama dengan mereka. Apakah engkau melihat adanya
satu tanda sensual dalam diriku?”
Laki-laki lain yang pernah mengajukan lamaran kepada Rabi’ah
adalah Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang Amir Abbasiyah dari Basrah (w.
172 H). Untuk berusaha mendapatkan Rabi’ah sebagai istrinya, laki-laki itu
sanggup memberikan mahar perkawinan sebesar 100 ribu dinar dan juga
memberitahukan kepada Rabi’ah bahwa ia masih memiliki pendapatan sebanyak 10
ribu dinar tiap bulan. Tetapi dijawab oleh Rabi’ah, ”Aku sungguh tidak merasa senang
bahwa engkau akan menjadi budakku dan semua milikmu akan engkau berikan
kepadaku, atau engkau akan menarikku dari Allah meskipun hanya untuk beberapa
saat.”
.
Dalam kisah lain disebutkan, ada laki-laki sahabat Rabi’ah
bernama Hasan al-Bashri yang juga berniat sama untuk menikahi Rabi’ah. Bahkan
para sahabat sufi lain di kota itu mendesak Rabi’ah untuk menikah dengan sesama
sufi pula. Karena desakan itu, Rabi’ah lalu mengatakan, “Baiklah, aku akan
menikah dengan seseorang yang paling pintar di antara kalian.” Mereka
mengatakan Hasan al-Bashri lah orangnya.” Rabi’ah kemudian mengatakan kepada
Hasan al-Bashri, “Jika engkau dapat menjawab empat pertanyaanku, aku pun akan
bersedia menjadi istrimu.” Hasan al-Bashri berkata, “Bertanyalah, dan jika
Allah mengizinkanku, aku akan menjawab pertanyaanmu.”
“Pertanyaan pertama,” kata Rabi’ah, “Apakah yang akan
dikatakan oleh Hakim dunia ini saat kematianku nanti, akankah aku mati dalam
Islam atau murtad?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang
dapat menjawab.”
“Pertanyaan kedua, pada waktu aku dalam kubur nanti, di saat
Malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?” Hasan
menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.” “Pertanyaan ketiga, pada saat
manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar di Hari Perhitungan (Yaumul Hisab) semua
nanti akan menerima buku catatan amal di tangan kanan dan di tangan kiri.
Bagaimana denganku, akankah aku menerima di tangan kanan atau di tangan kiri?”
Hasan kembali menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Tahu. “Pertanyaan terakhir, pada
saat Hari Perhitungan nanti, sebagian manusia akan masuk surga dan sebagian
lain masuk neraka. Di kelompok manakah aku akan berada?” Hasan lagi-lagi
menjawab seperti jawaban semula bahwa hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui
semua rahasia yang tersembunyi itu.
.
Selanjutnya, Rabi’ah mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Aku
telah mengajukan empat pertanyaan tentang diriku, bagaiman aku harus bersuami
yang kepadanya aku menghabiskan waktuku dengannya?” Dalam penolakannya itu
pula, Rabi’ah lalu menyenandungkan sebuah sya’ir yang cukup indah.
.
Damaiku, wahai saudara-saudaraku,
Dalam kesendirianku,
Dan Kekasihku bila selamanya bersamaku,
Karena cintanya itu,
Tak ada duanya,
Dan cintanya itu mengujiku,
Di antara keindahan yang fana ini,
Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
Dia-lah “mihrabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,
Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
Engkau-lah sumber hidupku,
Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
Telah kutinggalkan semua keindahan fana ini dariku,
Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
Karena itulah hidup kutuju.
Dalam kesendirianku,
Dan Kekasihku bila selamanya bersamaku,
Karena cintanya itu,
Tak ada duanya,
Dan cintanya itu mengujiku,
Di antara keindahan yang fana ini,
Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
Dia-lah “mihrabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,
Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
Engkau-lah sumber hidupku,
Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
Telah kutinggalkan semua keindahan fana ini dariku,
Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
Karena itulah hidup kutuju.
.
Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke
mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai
Allah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, ia sering jadikan
Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam salah satu sya’ir
berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Teman dan Kekasihnya
itu:
.
Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku,
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.
.
Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada
Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga
Allah memenuhi ruang hatinya. Doanya:
Tuhanku, malam telah berlalu dan
siang segera menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,
hingga aku merasa bahagia,
Ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa bersedih,
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
Selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,
aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi hatiku.
siang segera menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,
hingga aku merasa bahagia,
Ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa bersedih,
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
Selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,
aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi hatiku.
Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia
telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja
bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju
Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan
Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada
amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak
lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup
membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia
mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah
yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah mengatakan:
.
Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu..
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu..
.
1 comments:
mantaff...
Post a Comment
Sebelum anda memberi komentar, silahkan masuk dengan menggunakan akun google atau URL openID anda agar kami dapat lebih mudah membalas komentar anda, terimakasih.