Sepanjang sejarah dan sampai detik ini, salah satu ciri
tetap dari kehadiran perpustakaan di masyarakatnya adalah sifat atau
karakternya yang “suka rela”; perpustakaan disediakan untuk masyarakat secara
suka rela (artinya: tak berbayar, gratis) dan dimanfaatkan secara suka rela
pula (artinya: anggota masyarakat tak harus/wajib menggunakannya). Apa pun
bentuk perpustakaannya, tak pernah ada yang secara sungguh-sungguh (dan
berhasil) menjadi lembaga berorientasi profit (keuntungan finansial). Semua
perpustakaan berifat non-profit.
Tentu
saja, harus segera digarisbawahi, untuk dapat bertahan di masyarakatnya sebuah
perpustakaan perlu dana/biaya (cost) dan perlu bermanfaat (beneficial)
bagi masyarakatnya. Namun pembiayaan itu seringkali tak datang langsung dari pengguna
atau langsung dari penggunaan/pemanfaatan sarana/jasa perpustakaan. Bentuk
paling umum dari pembiayaan ini adalah subsidi atau subsidi silang.
Jika
perpustakaan itu adalah bagian dari sebuah perusahaan bisnis, misalnya bagian
dari bisnis eksplorasi minyak, maka perpustakaan itu biasanya mendapat subsidi
sepenuhnya, sehingga disebut pula sebagai “cost centre” (secara becanda
sering disebut “tempat buang duit”!).
Seringkali
hubungan antara “buang duit” sebagai biaya (cost) dan manfaat (benefit)
yang diperoleh dari keberadaan perpustakaan ini cukup jauh. Manfaat keberadaan
perpustakaan di sebuah perusahaan minyak amat jauh dari biaya produksi,
dibandingkan misalnya dengan manfaat kilang minyak di lepas Pantai Jawa yang
jelas-jelas membawa untung bagi perusahaan bersangkutan. Akibatnya, karena
sifat “jauh dari untung” ini, perpustakaan dianggap kurang memiliki nilai
manfaat, walaupun tetap dianggap perlu ada sebagai instrumen pendukung.
Memang,
tak semua jenis perpustakaan bersifat terlalu jauh dari untung. Misalnya
perpustakaan sekolah atau perpustakaan perguruan tinggi seringkali amat
menentukan “untung” dan manfaat yang diperoleh para murid atau mahasiswa.
Namun, tetap saja di dalam kenyataan sehari-hari perpustakaan bersifat
instrumental dan pendukung. Di sekolah, guru, alat ajar, dan sarana kelas
dianggap lebih langsung berhubungan dengan manfaat sekolah. Di perguruan
tinggi, dosen, dan sarana penelitian seringkali dianggap lebih penting.
Perpustakaan seringkali lebih dianggap sebagai sarana pendukung pengajaran di
sekolah, atau sarana pendukung penelitian di perguruan tinggi.
Pameo
seperti “perpustakaan adalah jantungnya perguruan tinggi” atau “perpustakaan
adalah otak perguruan tinggi” seringkali lebih berupa tong kosong yang nyaring
bunyinya, sebab di dalam kenyataan sesungguhnya perpustakaan semata-mata
instrumen pendukung; bahkan unsur pendukung yang kecil perannnya. Lebih mirip
dengan jari kelingking daripada jantung.
Realita
Sosial Kepustakawanan dan Reduksi Maknanya
Lebih
jauh lagi, dalam kenyataan sehari-hari tak jarang orang-orang menjadi tak
terlalu yakin, apa sesungguhnya manfaat keberadaan sebuah perpustakaan di
masyarakatnya. Ketidak-yakinan inilah yang akhirnya berwujud dalam bentuk
kurangnya penghargaan, pelecehan, pengabaian, dan berbagai reduksi makna
perpustakaan lainnya.
Beberapa
pihak di Indonesia pernah mencoba membuat analogi dengan mengatakan bahwa
perpustakaan barulah akan dihargai jika ia dibutuhkan, seperti orang sakit
membutuhkan dokter. Lalu ada upaya untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka
membutuhkan perpustakaan, sekali lagi dengan mengambil contoh orang sakit yang
membutuhkan dokter. Analogi ini, seperti halnya analogi yang menyamakan
perpustakaan dengan “jantung” atau “otak”, kurang dapat menjelaskan mengapa
perpustakaan sering mengalami reduksi makna atau bahkan pengabaian.
Terlebih-lebih
lagi, kita juga tak dapat menjelaskan dan lalu memberi solusi dengan
berorientasi ke masalah teknis. Seberapa pun sempurnanya teknis
pengorganisasian sebuah perpustakaan, tak ada kepastian bahwa perpustakaan
ituakan dipakai oleh masyarakatnya. Amatlah aneh (kalau tak dapat dikatakan absurd,alias
tak masuk akal) jika seorang Pustakawan berkonsentrasi pada teknik dan prosedur
penyelenggaraan perpustakaan, khususnya yang berkaitan dengan penataandan
temu-kembali, sementara keberadaan perpustakaannya bukan ditentukan oleh
hal-hal itu.
Jika
seorang pustakawan berkonsentrasi pada apa yang sering disebut “teknis” dan
“tata kelola”, maka mungkin saja ia akan dapat menjalankan standar dan mekanisme
yang sempurna, tetapi ia tak akan bisa memastikan bahwa perpustakaan itu akan
terus berlangsung jika tak ada dana. Jika pun ada dana yang teratur, si
Pustakawan juga tak akan bisa memastikan bahwa perpustakaannya akan ramai
dikunjungi dan laris digunakan oleh masyarakatnya.
Hal
ini jelas sekali, sebab semua perpustakaan memiliki ciri khas
sebagaimana yang saya sampaikan di awal tulisan ini, yaitu: sifatnya suka rela.
Kesuka-relaan
ini hanya dapat dijelaskan melalui pengamatan, analisis, dan solusi-solusi
sosial. Tak akan pernah ada solusi teknis terhadap persoalan pengabaian
perpustakaan. Tak akan pernah pula ada solusi biologis (“jantungnya perguruan
tinggi” dioperasi supaya sehat? Mana bisa!), atau solusi kesehatan (masyarakat
“berobat” ke perpustakaan karena “sakit informasi”? Nggak masuk akal!).
Solusi
Sosial bagi Kepustakawanan
Saya
bermaksud menjelaskan, apa itu “solusi sosial” bagi masalah-masalah
perpustakaan untuk sekali lagi membuktikan bahwa solusi-solusi teknis dan
teknologi kurang tepat digunakan di Indonesia. Untuk keperluan penjelasan ini,
saya perlu memberikan argumentasi yang cukup terinci tentang teori sosial.
Risiko dari menggunakan teori untuk menjelaskan sebuah fenomena yang “nyata”
adalah bahwa saya akan dianggap “terlalu berteori” dan tidak memberikan solusi.
Sebab
itu, selain mencoba menggunakan teori sosial saya juga ingin mempersoalkan
praktik sosial. Mudah-mudahan kata “praktik” membuat para pembaca yakin bahwa
yang saya bicarakan bukan cuma teori.
Saya
ingin jelaskan logika saya secara bertahap.
a.
Praktik Sosial dan Perilaku Individu
Pertama-tama,
kesuka-relaan yang saya jadikan topik di awal tulisan ini adalah wujud dari
sebuah praktik sosial yang paling dasar. Di dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya
sosiologi, “praktik sosial” adalah kegiatan terus-menerus yang berkembang
sepanjang waktu di berbagai tempat berbeda. Sudah barang tentu, “bahan baku”
dari praktik sosial ini adalah perilaku orang perorangan dalam hubungannya
dengan orang lain. Tanpa perilaku, tak ada praktik sosial. Jelas pula bahwa
dalam sebuah praktik sosial selalu ada lebih dari satu pihak yang berperilaku.
Selain itu, adalah alamiah pula untuk mengatakan bahwa perilaku ini dilakukan
secara sadar, atau setidaknya oleh orang-orang yang memiliki kesadaran. Dengan
pengertian seperti ini, maka sebenarnya, semua praktik sosial bersifat suka
rela.
Ambil
satu contoh sederhana: perilaku seorang pengendara motor di jalan-jalan Ibu
Kota.
Ini
adalah sebuah perilaku yang sudah dilakukan secara terus menerus di sebuah
wilayah yang cukup luas, melibatkan jutaan manusia, selain juga infrastruktur
(jalan) dan teknologi (motor). Untuk keperluan diskusi, kita fokuskan ke
perilaku SEORANG pengendara motor, katakanlah namanya Polan. Perilaku Polan ini
adalah perilaku yang disengaja, sadar, dan SUKA-RELA. Saya tekankan kata yang
terkahir, “suka rela”, sebab pada saat Polan berkendaraan motor dia sadar dan
tahu ada orang lain yang menggunakan infrastruktur jalan yang sama, dan ia
harus secara RELA berperilaku sesuai dengan perilaku orang lain. Perilaku
bermotor Polan juga dilakukan dengan SUKA, dalam arti dia melakukan hal yang ia
lakukan secara sadar dan mau secara amat sering. Katakanlah si Polan lalu belok
kiri tanpa memberi sein (sign). Perilaku ini juga suka-rela, sesuai
kesadaran Polan dan sesuai dengan ukuran kerelaannya tentang perilaku orang
lain.
Lalu
terjadi kecelakaan. Apakah ini persoalan infrastruktur dan teknologi, atau
persoalan sosial?
Pastilah
jawabannya: persoalan sosial! Khususnya lagi persoalan PRAKTIK sosial, dan
khususnya lagi-lagi adalah persoalan naik motor dan belok kiri. Ini persoalan
remeh banget, ya? Tetapi keremehan itu akan
sirna jika kita sadar bahwa perilaku si Polan itu telah menimbulkan masalah
sosial amat besar, selain juga kerugian material dan bahkan kerugian jiwa.
Dengan kata lain, praktik sosial naik motor dan belok kiri itu adalah persoalan
serius. Pemecahannya pun memerlukan keseriusan.
b.
Struktur Sosial
Hal
terpenting yang perlu kita perhatikan dalam kecelakaan di atas adalah bahwa si
Polan belok kiri tanpa memberi sein secara SUKA-RELA, dan kecelakaan itu
terjadi sebab orang lain tak sempat menghindar. Jika ada seorang polisi yang
menangani kasus ini, dan jika semua bukti sudah faktual, maka pasti akan ada
keputusan bahwa si Polan melanggar ATURAN berlalu-lintas, khususnya aturan
tentang belok kiri. Unsur ATURAN di sini menjadikan persoalan lalu-lintas
rumit, sebab berbenturan dengan perilaku suka-rela Polan. Si Polan melakukan
tindakan suka-rela yang tidak menaati aturan. Kerelaan si Polan ternyata tak
sesuai dengan kerelaan orang lain, dan kerelaan yang sudah diatur.
Dari
contoh remeh di atas, maka mudah-mudahan pengertian praktik sosial kini dapat
diperluas menjadi: “kegiatan yang dilakukan secara sadar dan suka-relaketika
seseorang berinteraksi dengan orang lain SESUAI PERATURAN sosial yang berlaku
secara terus menerus di berbagai tempat berbeda”. Di dalam ilmu-ilmu sosial,
peraturan sosial adalah bagian dari apa yang disebut “struktur sosial”. Selain
peraturan, di dalam struktur sosial juga ada nilai, norma, adat isti adat, dan
sebagainya. Mudah-mudahan contoh Polan berkendaraan motor ini juga
dapatmenjelaskan beberapa unsur penting dalam praktik sosial yang akan saya
gunakan selalu, yaitu:
- Agen Sosial : si Polan dan pengguna jalan lainnya.
- Infrastruktur : Jalan
- Teknologi : Motor
- Struktur sosial : Peraturan belok kiri
- Tindakan : belok kiri, dilakukan secara sadar dan suka rela.
- Interaksi sosial : orang lain menabrak si Polan, terjadi kecelakaan.
Tentu
saja skema di atas dapat juga diganti dengan:
- Agen Sosial : si Polan dan pengguna perpustakaan lainnya.
- Infrastruktur : Perpustakaan
- Teknologi : buku
- Struktur sosial : peraturan tentang penggunaan perpustakaan
- Tindakan : si Polan menyobek buku, dilakukan secara sadar dan suka rela.
- Interaksi sosial : orang lain tidak bisa membaca bagian buku yang disobek.
Kedua
contoh tentang naik motor dan penggunaan buku di atas tentu saja sangat
mengada-ada. Tetapi benar-benar ada, kan?! Contoh-contoh itu akan saya pakai
untuk menegaskan bahwa memang ADA praktik sosial, bahwa praktik sosial itu
nyata (riil), dan inilah yang harus diperhatikan oleh ilmu-ilmu sosial dan
orang-orangyang bekerja berdasarkan ilmu-ilmu sosial. Tentu saja, dalam konteks
IP&I saya akan kembali menegaskan bahwa praktik sosial adalah fokus ilmu
ini, bukan infrastrukturnya saja, bukan teknologinya saja, dan bukan peraturan
(struktur) saja.
c.
Teori Sosial
Setelah
menjelaskan soal praktik sosial lengkap dengan unsur-unsur dan contoh-contoh di
atas, izinkan saya menjelaskan pengertian “teori sosial”.
Di
contoh tentang Polan yang belok kiri tanpa sein, kita mengandaikan bahwa
tindakan Polan dilakukan dengan sadar dan suka rela, tetapi ia melanggar
peraturan sosial dalam berlalu-lintas. Tindakan yang dilakukan secara sadar
adalah tindakan yang dilakukan dengan menggunakan akal-budi. Tindakan ini
bermula di pikiran si Polan lalu diwujudkan dalam aktivitas membelokkan motor
ke kiri tanpa terlebih dahulu menyalakan sein.
Pikiran
si Polan tentang belok kiri terbentuk oleh pengalaman, pengetahuan, dan
masukan-masukan yang amat banyak dan bertahun-tahun terhadap dirinya. Pikiran
si Polan inilah yang dapat kita sebut TEORI, sebab ia abstrak, mengandung
logika, dan digunakan untuk menuntun atau memandu sebuah kegiatan fisik.
Pengertian”teori”
di sini akan sangat berbeda dari teori ilmu alam, sebab dalam teori ilmu alam
maka yang abstrak dan mengandung logika itu “bukan pikiran si alam” melainkan
“mekanisme alam”. Perbedaan teori dalam ilmu alam dan ilmu sosial ini akan
menyebabkan pembicaraan kita bisa jadi puaaaaan…jang banget dan
ngelantur ke filsafat atau metafisika. Jadi, saya tidak akan melanjutkannya.
Saya
hanya ingin mengatakan bahwa dalam ilmu-ilmu sosial akhirnya ada dua jenis
teori:
1 .Teori sebagai pikiran yang memandu orang perorangan dalam praktik sosial mereka. Bolehlah ini disebut “teori awam” (common sense).
2. Teori sebagai hasil pengamatan ilmuwan tentang cara-kerja praktik sosial. Bolehlah ini disebut “teori ilmiah sosial” (social science theory).
Pengertian
teori yang nomor 2 inilah yang sering muncul dalam kata-kata, “Ah, jangan cuma
berteori, dong!”. Dan ucapan yang rada menyindir ini sering muncul ketika
teori-teori yang dikeluarkan oleh seorang ilmuwan sosial tidak cocok dengan
praktik sosial.
Izinkan
saya menjelaskan hal ini dengan kembali ke contoh si Polan yang mengalami
kecelakaan lalu lintas.
Jika
seorang ilmuwan sosial diminta meneliti praktik sosial di jalan-jalan raya Ibu
Kota, maka kira-kira apa teori yang ia hasilkan dari penelitian itu, ya?
Menurut Anda, apa teori sosial tentang perilaku di jalan raya?
Kalau
menggunakan skema yang saya sampaikan di atas, maka saya dapat menduga bahwa
hasil penelitian itu akan menyimpulkan bahwa kecelakaan terjadi sebab si Polan
melanggar peraturan lalu lintas. Kalau penelitian itu juga dilengkapi dengan
analisis mendalam tentang sebab-sebab si Polan berbelok kiri tanpa memberi
sein, maka saya dapat menduga bahwa akan muncul sebuah teori tentang
pembangkangan sosial. Kira-kira isi teori itu adalah:
- Polan telah dengan sengaja dan suka rela belok kiri tanpa sein sebab dia tidak peduli pada peraturan sosial,
- Dia tidak peduli pada peraturan sosial karena dia tidak peduli pada orang lain yang menggunakan jalan yang sama.
- Polan melakukan pembangkangan sosial bersama-sama dengan jutaan pengendara motor Jakarta lainnya sebagai wujud dari tekanan hidup yang menyebabkan seseorang mendahulukan pertimbangan pribadi daripada pertimbangan tentang orang lain.
Semakin
jauh, teori sosial bisa semakin abstrak, semakin umum (general), dan
semakin tidak langsung berkaitan dengan “Polan belok kiri tanpa sein” saja.
Kebenaran
Teori dan Solusi Sosial
Tetapi
apakah teori itu benar?
Nah,
cara menguji kebenaran teori ini adalah dengan mencocokkannya ke “common
sense” alias teori awam yang ada di kepala si Polan (dan jutaan pengendara
motor Jakarta lainnya). Semua kaitan-kaitan logika dari sebuah teori sosial
harus dibandingkan dengan praktik sosialnya. Tak ada cara lain daripada cara
itu, kalau kita memang bicara tentang teori sosial.
Seandainya
teori itu benar, apakah dapat dipraktikkan (supaya tidak dituduh “cuma berteori
doang”)?
Nah,
cara menguji kegunaan teori ini adalah juga dengan mencocokkannya ke “common
sense“. Lebih dari itu, kalau memang teori pembangkangan sosial itu benar,
lalu apakah teori tersebut ada gunanya?
Dalam
hal inilah kita masuk ke ranah PENERAPAN TEORI atau aplikasi. Sebagian besar
aplikasi diharapkan dalam bentuk SOLUSI. Semua teori baik dari ilmu alam maupun
ilmu sosial diharapkan memberikan solusi kepada masyarakatnya -itulah sifat
ilmu yang ada dalam persepsi masyarakat umum. Jika kita berandai-andai bahwa
teori pembangkangan sosial dapat diberlakukan untuk peristiwa kecelakaan akibat
si Polan belok kiri tanpa memberi sein itu, maka bagaimana teori itu akan
diterapkan dalam bentuk sebuah solusi?
Jawabannya
adalah dengan melakukan apa yang sering disebut sebagai “rekayasa sosial” (sosial
engineering). Misalnya pertama-tama dalam bentuk kajian-kajian untuk
membuktikan dan mencari sumber utama penyebab dari pembangkangan sosial.
Katakanlah bahwa penyebabnya adalah karena si Polan bersikap egois. Maka tentu
solusinya adalah mengubah sikap si Polan dari egois menjadi tak egois. Ada
banyak cara untuk mengubah ini, namun semuanya amat bergantung dari kemauan
Polan mengubah sikapnya. Bisa ditempuh cara “keras”, misalnya dengan menghukum
Polan sampai dia sadar bahwa dia sudah berlaku egois. Bisa juga ditempuh dengan
cara “lunak” misalnya dalam bentuk bujukan kepada Polan agar dia lebih
memperhatikan orang lain. Saluran untuk membujuk ini bisa lewat pendidikan
formal maupun non-formal, dan bahkan bisa dilakukan lewat ceramah agama atau
pendidikan orang tua.
Apa
pun solusi yang kita andaikan di atas, tak satupun solusi itu dalam bentuk
perbaikan infrastruktur fisik (perbaikan jalan) atau perbaikan teknologi motor.
Mengapa demikian, sebab memang permasalahannya bukan pada keduanya. Iya nggak
sih?
Dengan
kata lain pula, memakai contoh sederhana di atas, sebuah ilmu yang berorientasi
sosial akan menggunakan teori-teori sosial dalam menganalisis praktik sosial,
dan lalu akan menawarkan solusi yang sangat relevan dengan praktik sosial
bersangkutan.
Contoh
sederhana ini dapat kita gunakan untuk mengulas Ilmu Perpustakaan &
Informasi sebagai sebuah ilmu yang akan menghasilkan solusi-solusi sosial. Kita
harus menegaskan secara seksama, mengapa IP&I berguna bagi masyarakatnya,
bukan dengan menjadikan diri kita sarjana yang terampil membuat dan menggunakan
alat temu-kembali, melainkan dengan menawarkan dan mempraktikkan teori sosial
untuk menghasilkan solusi-solusi sosial.
0 comments:
Post a Comment
Sebelum anda memberi komentar, silahkan masuk dengan menggunakan akun google atau URL openID anda agar kami dapat lebih mudah membalas komentar anda, terimakasih.